Baru-baru ini sedang viral kasus pak guru bernama Muhammad Samhudi yang dilaporkan ke polisi sebablantaran mencubit anak muridnya. Pak Samhudi yang kesehariannya mengajar olahraga di SMP Raden Rahmat Balongbendo, Sidoarjo, Jawa Timur, bahkan sampaidilaporkan ke pihak kepolisian dan hingga akhirnya perkara ini dibawa ke meja hijau oleh pihak keluarga murid tersebut.
Ini lantaran siswa bernama Arif tersebut mengadu pada orangtuanya, Serka Yuni Kurniawan. Salah satu anggota TNI Unit Intelijen Kodim Gresik 0817. Yuni tak terima jika anaknya dicubit Pak Samhudi.
Kasus ini menjadi heboh dan cerita Pak Samhudi menjadi viral di sosial media. Netizen pun geger memprotes keras perlakuan tak adil pada Pak Samhudi. Sejatinya guru memang harus memberikan arahan pada murid agar menjadi anak yang disiplin dan berbudi pekerti.
Namun perlakuan dari Pak Guru Samhudi ini malah dianggap sebagai kekerasan oleh Yuni. Pada Rabu kemarin (29/6/2016) Ratusan guru dari berbagai daerah di Jawa Timur datang ke pengadilan negeri untuk memberi dukungan mental dan moral pada Pak Samhudi. Mereka membawa spanduk bertuliskan 'Orangtua yang anaknya tidak mau ditegur guru di sekolah, silahkan didik sendiri dan buat ijazah sendiri #SaveGuru'.
Jaksa penuntut umum (JPU) sidang tersebut, Kosyati menyatakan Samhudi mengakui telah melakukan kekerasan pada siswanya. Pengakuan itu tercantum dalam berita acara pemeriksaan (BAP) tersangka.
Namun, Samhudi melakukan hal tersebut karena ingin muridnya menjadi baik dan disiplin. Sebab, kata Kosyati, Samhudi menerima informasi bahwa banyak muridnya yang suka merokok di rumah kosong sebelah sekolah.
Hasil visum juga menunjukkan bahwa memar merah di lengan kanan murid tersebut adalah akibat sentuhan benda tumpul. Pada fakta persidangan pemeriksaan, saksi pegawai TU SMP Raden Rahmat Balongbendo Tri Puji Rahayu telah dipanggil.
'Ketika sidang, saksi itu mengatakan bahwa sebenarnya korban itu kurang sopan dengan guru. Sering tidak ikut salat Dhuha. Menurut keterangan saksi sih seperti itu,' jelasnya.
Sementara itu, Gufron, kuasa hukum Muhammad Samhudi, membantah bahwa kliennya telah melakukan kekerasan fisik dengan cara smackdown. Menurutnya, guru tidak diajarkan mendidik dengan cara kekerasan fisik seperti itu. Bahkan, dia berani pasang badan.
'Tak mungkin itu dilakukan. Berpikir 10 kali pun tidak mungkin guru melakukan smackdown. Guru tidak diajarkan seperti itu,' jelasnya.
Hasil visum yang dijadikan bukti laporan ke Kapolsek Balongbendo, lanjut dia, belum bisa dipertanggungjawabkan. Sebab, visum itu kemungkinan besar direkayasa karena ada dendam pribadi. Apalagi, peristiwa tersebut terjadi pada 3 Februari. Namun, visum baru dilakukan pada 8 Februari. Padahal, batas maksimal visum 2 x 24 jam.
'Visum itu kan kedaluwarsa. Visum baru dilakukan lima hari setelah kejadian. Itu tidak bisa dibenarkan,' ungkapnya.
Menurut Gufron, memar di lengan kanan murid tersebut sangat mungkin disengaja. Ia juga mempertanyakan kepada petugas yang telah memberikan jalan pembuatan visum.
'Ini ada yang aneh,' jelas ketua Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Sidoarjo itu.
Pemilik yayasan, H. Kusman melalui sambungan telepon selulernya menjelaskan bahwa kasus itu sebenarnya persoalan keluarga.
“Dan lagi, anak itu memang nakal. Kalau semisal ketahuan merokok lalu ditempeleng kan tidak salah gurunya,” katanya.
Menurut pemilik yayasan yang juga anggota DPRD Kabupaten Sidoarjo itu, sebelum dibawa ke pengadilan sebenarnya sudah dicoba penyelesaian secara kekeluargaan namun tak membuahkan hasil karena orang tua murid tersebut ngotot untuk membawa masalah ini ke meja hijau.