Nurdin Priyanto, pengamen kawasan Cipulir, yang menjadi korban salah tangkap Kepolisian, mengaku belum bisa melupakan kisah pilu, saat dia ditangkap dan disiksa anggota Polda Metro Jaya pada 2013 lalu. Mereka disiksa, agar mau mengaku sebagai pembunuh.
Pemuda berusia 25 tahun itu menceritakan, awal dia ditangkap saat tengah tertidur di sebuah warung internet (warnet) di kawasan Parung Bogor, Jawa Barat.
"Kalau saya awal pertama ketangkap, lagi di Parung. Lagi tidur di warnet. Tiba-tiba,dibangunin, dijambak, dibawa sampai depan warnet, diseret-seret dan diinjak-injak. Itu posisi buka baju," kata Nurdin, usai sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan, Senin 25 Juli 2016.
Setelah ditangkap, Nurdin langsung dimasukkan ke sebuah mobil dan dibawa ke Mapolda Metro Jaya. Dia pun mengungkapkan, saat berada di Polda, dia disuruh mengakui perbuatan yang menurut dia tidak dilakukan.
"Sampai saat itu, dimasukin ke mobil dan dipukulin dan disiksa. Langsung dibawa ke Polda. (Sampai di Polda) Sudah ada anak-anak. Sampai di Polda, terus disuruh mengaku, mata saya dilakban, disetrum, ditendangin, dipukulin sampai saya enggak kuat," ujar Nurdin.
Nurdin yang merasa tidak pernah melakukan seperti di dalam kasus yang disangkakan itu terpaksa mengaku. "Capek dipukulin terus, Ya, kami mengakui dengan terpaksa," ujarnya.
Hal senada diungkap korban salah tangkap lainnya, Andro Supriyanto. Andro mengaku saat digelandang anggota polisi ke Mapolda Metro Jaya, beralasan untuk dijadikan saksi.
Namun, sesampainya di Mapolda Metro Jaya, dia malah ditahan dan dipaksa untuk mengaku sebagai pelaku pembunuhan. Lantaran tak kuat dengan siksaan, dia terpaksa mangaku atas hal yang menurut dia tidak dilakukan.
"Saya di tempat kejadian dibawa jadi saksi. Lagi tidur di kolong. Ada yang ngaduinSatpam situ. Polisi datang, kami dibawa. Mau jadi saksi, bilangnya pulang sore. Enggakdipulangin, malah digebukin. Disiksa bareng sama dia (Nurdin). Disuruh ngaku. Saya bilang, bukan saya yang bunuh. Dia bilang mengaku aja. Saat mengaku, enggakdipukulin lagi," kata Andro.
Mereka gugat polisi Rp1 miliar
Nurdin dan Andro baru terbukti tidak bersalah, setelah sempat dijatuhkan hukuman pidana perkara pembunuhan. Dua pengamen di Cipulir, Jakarta Selatan ini melayangkan gugatan atas kasus salah tangkap itu.
Tak tanggung-tanggung, Andro Supriyanto dan Nurdin Priyanto menggugat Polri dan Kejaksaan Agung membayar ganti rugi atas kasus salah tangkap itu senilai Rp1 miliar.
Gugatan itu dilayangkan Andro dan Nurdin bersama tim kuasa hukumnya di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Sidang perdana praperadilan gugatan itu dilangsungkan Senin siang, 25 Juli 2016.
"Agendanya pembacaan, permohonan dari kita selaku pemohon. Agendanya jam sembilan. Tetapi, karena termohon belum hadir, makanya belum dimulai," kata kuasa hukum pemohon, Arief Maulana.
Sidang gugatan satu miliar rupiah itu terdaftar dalam nomor perkara 98/Pid.Prap/2016/PN.Jkt.Sel. Dan sidang akan dipimpin Hakim Totok Sapti Indrato.
Arief menuturkan, pengajuan permohonan praperadian terkait ganti kerugian salah tangkap tersebut, dilakukan setelah adanya putusan kasasi dari Mahkamah Agung, yang menguatkan putusan banding Pengadilan Tinggi Jakarta, yang menyatakan keduanya tidak terbukti bersalah dan dibebaskan.
Dalam permohonan praperadilan yang diajukan oleh kliennya itu, menurut Arief, ada dua pihak yang menjadi termohon dan satu pihak turut termohon. Pertama, Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya, selaku pihak termohon I. Kemudian, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, selaku pihak termohon II. Sedangkan untuk pihak turut termohon, menteri keuangan.
"Klien kami, dulu dipidana gara-gara dituduh membunuh. Kemudian, kita bisa membuktikan di level banding, kita menang. Kemudian jaksa kasasi, kemudian putusannya (Kasasi) menguatkan keputusan banding. Inti keputusan banding tidak bersalah dan dibebaskan," ujarnya.
Dalam gugatan itu, pemohon I dan II menuntut ganti kerugian materil dan imateril kepada pihak termohon dan turut termohon. Dalam permohonannya, pemohon I meminta ganti rugi materil Rp75.440.000 dan imateril Rp 590.520.000. Sedangkan pemohon II, meminta ganti rugi materil Rp80.220.000 dan imateril Rp. 410.000.000.
"Total ganti kerugian sekitar kurang lebih satu miliar rupiah," ucap Arief.
Dituduh membunuh di bawah jembatan
Seperti diketahui, kedua pengamen itu dituduh dan disangka hingga dipidanakan dalam kasus pembunuhan Dicky Maulana di bawah jembatan Cipulir pada akhir Juni 2013.
Keduanya ditangkap, ditahan, diproses secara hukum, meski pun tidak ada bukti yang mengarahkan mereka sebagai pembunuh Dicky. Hal itu diperkuat dengan adanya putusan banding di Pengadilan Tinggi Jakarta, dan diperkuat dengan hasil kasasi di Mahkamah Agung.
Andro dan Nurdin telah dibebaskan dari hukuman tujuh tahun penjara yang divonis oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, setelah Pengadilan Tinggi Jakarta menyatakan keduanya tidak bersalah dan dibebaskan. Namun, Jaksa Penuntut Umum tidak terima dan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Kasus pembunuhan Dicky Maulana diduga dilakukan enam anak jalanan yang sehari-hari mengamen di Cipulir, Jakarta Selatan. Mereka adalah dua terdakwa dewasa, Andro dan Nurdin, dan empat terdakwa anak di bawah umur yang kasasinya tengah berjalan di Mahkamah Agung (MA). Mereka berinisial FP (16 tahun), F (14 tahun), BF (16 tahun), dan AP (14 tahun).
Pembunuhan Dicky terjadi pada Minggu 30 Juni 2013. Pada 1 Oktober 2013, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, menjatuhkan pidana penjara tiga sampai empat tahun kepada empat terdakwa anak di bawah umur. Sedangkan dua terdakwa dewasa, masing-masing dihukum tujuh tahun penjara.
Namun, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memutus bebas Andro dan Nurdin dalam kasus pembunuhan ini. Pada putusan banding Nomor 50/PID/2014/PT DKI, majelis hakim menyatakan kedua pengamen itu tak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pembunuhan. (viva)
0 komentar:
Posting Komentar